Selamat datang....disini kami akan berusaha mengumpulkan berbagai macam manuskrip teks sastra. baik itu berupa naskah drama, kumpulan puisi, cerpen, dongeng dll. Buat para pembaca juga bisa mengirimkan karya-karyanya pada blog ini lewat e-mail : lakulelaki[at]yahoo[dot]com. Insya Allah akan kami muat.

Teater Satu Lampung

Pentas Teater Satu Lampung dalam naskah VISA karya Goenawan Mohamad. Dipentaskan di Komunitas Salihara Jakarta dengan Sutradara Iswadi Pratama

Teater Lakon Bandung

Pentas Teater Lakon Bandung dalam naskah MACHINE sutradara Chandra Kudapawana. Pentas di Surabaya dalam Kompetisi Teater Indonesia

CCL Bandung

Pentas teater dari Komunitas CCL Bandung dengan judul "Tanah" karya dan sutradara Iman Soleh

Selasa, 21 Juni 2011

Putu Wijaya

I Gusti Ngurah Putu Wijaya (lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944; umur 67 tahun) adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.

Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.

Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.

Iswadi Pratama

Iswadi pernah menjadi redaktur budaya Surat Kabar Umum Sumatera Post dan Harian Umum Lampung Post, Bandar Lampung sebelum memutuskan berkesenian secara total.
Aktif sebagai aktor, penulis naskah, dan sutradara bersama grup teaternya, Teater Satu. Beberapa naskah teaternya: Ruang Sekarat, Rampok, Ikhau, Nak, Menunggu Saat Makan, Dongeng tentang Air, dan Aruk Gugat.
Bersama Teater Satu, Iswadi dua kali mendapatkan Hibah Senia dari Yayasan Kelola (2002 dan 2004) untuk pentas keliling di sejumlah kota di Indonesia. Dia juga mementaskan naskah-naskah puisinya dalam bentuk teater seperti Nostalgia Sebuah Kota, yang meraih peringkat ketiga GKJ Award 2003. Naskah ini dalam even yang sama, menjadi naskah terbaik I.
Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa, selain terhimpun dalam antologi bersama: Gelang Semesta (1987), Belajar Mencintai Tuhan (1992), Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (1995), Refleksi Setengah Abad Indonesia (1995), Antologi Cerpen dari Lampung (1996), Cetik (1996), Mimbar Abad 21 (1996), Hijau Kelon dan Puisi 2002 (2002), Pertemuan Dua Arus (2004), Gerimis (dalam Lain Versi) (2005, Asia Literary Review (2006), dan Terra (Australia-Indonesia, 2007).

Sumber wikipedia

Minggu, 19 Juni 2011

Utuy Tatang SOntani

Utuy Tatang Sontani (Cianjur, 1 Mei 1920 - Moskwa, 17 September 1979) adalah seorang sastrawan Angkatan 45 terkemuka.
Karyanya yang pertama adalah Tambera (versi bahasa Sunda 1937) sebuah novel sejarah yang berlangsung di Kepulauan Maluku pada abad ke-17. Novel ini pertama kali dimuat dalam koran daerah berbahasa Sunda Sipatahoenan dan Sinar Pasundan pada tahun yang sama. Setelah itu Utuy menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Orang-orang Sial (1951), yang diikuti oleh cerita-cerita lakonnya yang membuatnya terkenal. Lakon pertamanya (Suling dan Bunga Rumahmakan, 1948) ditulis sebagaimana lakon ditulis, tetapi selanjutnya ia menemukan cara menulis lakon yang unik, yang bentuknya seperti cerita yang enak dibaca.
Di antara lakon-lakonnya yang terkenal adalah Awal dan Mira (1952), Sajang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Sang Kuriang (1955), Selamat Djalan Anak Kufur (1956), Si Kabajan (1959), dan Tak Pernah Mendjadi Tua (1963).

Terseret arus politik zaman
Utuy diutus oleh pemerintah Indonesia pada 1958 sebagai salah seorang wakil Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uzbekistan. Ketika hubungan politik Indonesia-Uni Soviet semakin mesra, banyak karya pengarang Indonesia yang diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Rusia, termasuk karya Utuy, "Tambera", yang dianggap mencerminkan semangat revolusi dan perjuangan rakyat. Sementara itu, "Orang-Orang Sial", hanya terbit di Tallin, dalam bahasa Estonia, karena dianggap terlalu pesimistik dan hanya mengungkapkan sisi gelap revolusi.

Pada 1 Oktober 1965 Utuy bersama sejumlah pengarang dan wartawan Indonesia menghadiri perayaan 1 Oktober di Beijing atas undangan pemerintah Tiongkok. Pecahnya G30S pada 1965 di Indonesia membuat mereka terlunta-lunta di tanah asing. Kembali ke Indonesia berarti ditangkap dan dituduh terlibat G30S, seperti yang dialami oleh begitu banyak kawan mereka. Situasi mereka semakin sulit ketika di RRT sendiri pecah Revolusi Kebudayaan pada 1966. Sebagian orang Indonesia yang terdampar di Tiongkok akhirnya memutuskan untuk meninggalkan negara itu dan pergi ke Eropa Barat dengan menumpang kereta api Trans Siberia. Sebagian dari penumpang ini berhenti di Moskwa, termasuk Utuy dan sejumlah kawannya, Kuslan Budiman, Rusdi Hermain, dan Soerjana, wartawan Harian Rakjat.

Pindah ke Moskwa
Kedatangan Utuy di Moskwa pada 1971 disambut hangat oleh pemerintah Uni Soviet dan masyarakat ilmiah di sana, terutama karena nama Utuy sudah dikenal luas lewat karya-karyanya dan kehadirannya dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika pada 1958. Utuy diminta mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Moskwa dan sempat pula menghasilkan sejumlah karya tulis. Ia menyusun sekurang-kurangnya empat buah novel dan tiga otobiografi hingga ia wafat pada 1979 di Moskwa. Salah satu novelnya yang ditulisnya dan diterbitkan di Moskwa adalah Kolot Kolotok. Novel ini hanya dicetak terbatas untuk bahan studi di Jurusan Indonesia, Universitas Negara Moskwa. Di Bawah Langit Tak Berbintang adalah memoar dan otobiografinya yang mengisahkan pengalamannya hidup di pengasingan di RRT dan di Rusia.
Ketika ia meninggal, sebagai penghormatan nisannya ditempatkan sebagai nisan pertama di pemakaman Islam pertama di Moskwa.

Karya
Karya tulis
  • Tambera (1948)
  • Orang-orang Sial: sekumpulan tjerita tahun 1948-1950 (1951)
  • Selamat Djalan Anak Kufur (1956)
  • Si Kampeng (1964)
  • Si Sapar: sebuah novelette tentang kehidupan penarik betjak di Djakarta (1964)
  • Kolot Kolotok
  • Di bawah langit tak berbintang (2001)
  • Menuju Kamar Durhaka - kumpulan cerpen (2002)

Drama:
  • Suling (1948)
  • Bunga Rumah Makan: pertundjukan watak dalam satu babak (1948)
  • Awal dan Mira: drama satu babak (1952)
  • Sajang Ada Orang Lain (1954)
  • Di Langit Ada Bintang (1955)
  • Sang Kuriang: opera dua babak (1955)
  • Si Kabajan: komedi dua babak (1959)
  • Tak Pernah Mendjadi Tua (1963)
  • Manusia Kota: empat buah drama (1961)
  • Selain ke dalam bahasa Rusia dan Estonia, karya-karya Utuy juga diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, mis. bahasa Inggris, Mandarin, Tagalog, dll.
  • Di masa Orde Baru, sama seperti para penulis yang mendapatkan stigma komunis, karya-karya Utuy dilarang beredar oleh pemerintah.
Sumber : Disini

Sabtu, 18 Juni 2011

Arifin C Noer

Arifin Chairin Noer (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941 – meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995 pada umur 54 tahun), atau lebih dikenal sebagai Arifin C. Noer, adalah sutradara teater dan film asal Indonesia yang beberapa kali memenangkan Piala Citra untuk penghargaan film terbaik dan penulis skenario terbaik.

Salah satu film Arifin yang paling kontroversial adalah Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984). Film ini diwajibkan oleh pemerintah Orde Baru untuk diputar di semua stasiun televisi setiap tahun pada tanggal 30 September untuk memperingati insiden Gerakan 30 September pada tahun 1965. Peraturan ini kemudian dihapus pada tahun 1997.

Selain itu Arifin jugalah yang pertama mengenali bakat aktris Joice Erna dan mengangkatnya ke jenjang popularitas dengan film Suci Sang Primadona di tahun 1977.

Latar belakang teaternya yang kuat ia raih dengan pertama bergabung dengan kelompok bentukan Rendra dan juga kemudian menulis dan menyutradari lakon-lakonnya sendiri seperti Kapai Kapai, Tengul, Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang dan Sandek Pemuda Pekerja.

Istrinya adalah aktris Jajang C. Noer. Darinya, Arifin mendapat dua anak, yaitu: Nitta Nazyra dan Marah Laut.

Sumber : Wikipedia

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More